Air Terjun Lubuak Bulan
Mungkin, kebanyakan traveler
belum tahu tentang air terjun Lubuak Bulan di Sumatera Barat. Padahal,
air terjun yang masih alami ini cantik sekali. Air terjunnya jatuh dari
atas atap gua dan aliran airnya seolah menghilang. Menakjubkan!Minggu (23/03) pagi itu, embun tak berhenti menyelimuti kota kecilku, Payakumbuh. Seruputan kopi hangat tak kunjung mengusir rasa dingin. Di benakku terbayang indahnya Air Terjun Lubuak Bulan yang saya lihat di salah satu media beberapa hari sebelumnya.
Sebenarnya saya telah berjanji dengan seorang teman untuk menyusup ke dalam hutan rimba minggu ini. Namun, rencana tinggal rencana, sang rekan dapat panggilan kerja. Tapi hal itu tidak sedikit pun menyurutkan niatku tuk menyibak belukar, demi melihat langsung indahnya air terjun yang penuh misteri.
Jam tangan menunjukkan waktu 08.30 WIB, saya coba menghubungi salah satu abang yang memang suka berpetualang, berharap ia mau menemani perjalananku kali ini. Tak butuh banyak kata untuk memastikan keberangkatan kami, karena kata Bang Onk Sasuai kalau memang mau ke lokasi itu sebaiknya kita berangkat pagi ini juga.
Berbekal sedikit keterangan dari media itulah, kami berangkat dari Payakumbuh jam 09.00 WIB menuju Kecamatan Mungka, Kabupaten Limapuluhkota. Dorongan tekad kuat serta lensa pinjaman dari Bang Dy Andre, saya memacu motor mengejar waktu.
Pukul 09.45 WIB kami memasuki daerah Simpang Kapuak. Menurut keterangan warga sekitar, kami masih harus meneruskan perjalanan sekitar 1 jam lagi sebelum bisa menikmati segarnya air terjun itu.
Baru setengah jam perjalanan, kami dihadapkan pada medan yang tak lazim ditempuh dengan motor matic yang dibawa. Sebuah pendakian terjal panjang tanpa aspal menanti kami. Belum 500 meter mendaki, saya menyerah.
Kendali motor kuserahkan pada Bang Onk yang memang berpengalaman menempuh berbagai arena ekstrim, sementara saya lebih memilih berjalan kaki. Tidak mudah memang, karena pendakian ini seperti tak berujung.
Setelah 20 menit saya ayunkan kaki menapak jalan tanah yang keras serta licin, baru saya bisa bernapas lega melihat jalan yang cenderung datar. Namun saat saya menoleh ke belakang, tak ayal saya terkejut melihat kami berdiri sejajar dengan Gunung Bungsu. Cukup terjal pendakian yang barusan kami taklukkan, mengingat jalurnya tak lebih dari 1 KM.
Bang Onk menyarankan kami untuk beristirahat, melihat peluhku yang telah membasahi tubuh. Seteguk dua teguk air cukup menyegarkan di sini, mengembalikan kesadaran akan betapa indahnya tempat kami beristirahat.
Tak perlu komando ataupun peringatan, langsung dikeluarkan kamera yang sejak awal saya sandang. Bergantian kami mengabadikan indahnya alam Luak Nan Bungsu dari atas sini.
15 menit berhenti telah mengembalikan tenaga saya, Bang Onk mengembalikan tuas kendali motor. Tak kurang 30 menit, kami berjuang keras menaklukkan medan yang selayaknya ditempuh dengan motor trail ini.
Bang Onk berkali-kali dipaksa turun dari boncengan, melihat jalur yang harus ditempuh. Semakin ke dalam, jalur yang kami tempuh semakin memacu adrenalin. Jalan semakin sempit, tanah yang semakin licin, dan sulitnya mencari jalan yang datar, tak sedikit pun memupuskan bayangan akan air terjun Lubuak Bulan di mata saya.
Di belakang kami tampak beberapa sepeda motor melaju searah, kami tidak sendirian. Punya teman seperjalanan merupakan kebahagiaan lain saat berpetualang, saling bahu–membahu dan berbagi semangat, sangat membantu penaklukan jalur ekstrim ini.
Tidak sekali dua kali kami mengangkat motor rekan seperjalanan yang hampir roboh, mendorongnya melewati tanjakan, dan saling menunjukkan jalur teraman yang dapat ditempuh.
Saat memasuki hutan yang smakin rapat, kami sempat tersesat dan malah memasuki lahan kebun gambir. Untung saja masyarakat yang sedang memanen pohon uang itu tahu kami tersesat dan segera memberi tahu kami. Ternyata kami melewati persimpangan menuju lokasi, maklum saja, air terjun ini masih baru dikenalkan dan belum ada satu pun penunjuk jalan.
Tiba saatnya kami harus meninggalkan motor dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menempuh turunan yang curam, diiringi suara gemuruh air. Kami sudah dekat, namun tak bisa bergesa, karena jalan yang kami tempuh bukan turunan biasa, akar yang melintang dan tanah gembur membuat kami harus berhati-hati.
Luar biasa, sampai saya tak sanggup menggambarkan bagaimana indahnya air terjun ini. Air yang amat deras mengucur dari atap gua alami menuju dasar kolam.
Ajaib, cuma di sini kita tidak bisa melihat kemana air kolam itu mengalir, sehingga warga menamainya 'Air Hilang'. Dari dalam gua saya melihat air terjun ini bagai selendang bidadari yang menjuntai dari langit, berlatarkan hutan perawan dan secercah cahaya matahari.
Bersama Bang Onk, saya mencari tempat yang tepat untuk merekam keindahan surga dunia' ini. Mulai dari atas bebatuan besar sekitar air terjun, hingga dari dalam gua. Supaya kelak kita semua tahu, bahwa di sekitar kita ada bongkahan surga yang jatuh ke bumi.
Satu jam lebih kami berkeliling mengabadikan keajaiban ini, perjalanan yang cukup menguras energi ini membunyikan gemuruh dari dalam tubuh. Kami lapar.
Saat membasuh tangan, kami dikagetkan oleh suara–suara teriakan yang kami kenali. Serentak saya dan Bang Ong menoleh ke arah jalan masuk gua, kaget bukan kepalang saat melihat rekan-rekan Payakumbuh Sepeda Nanjak (PSN) muncul di sini. Padahal dalam perjalanan tadi, saya dan Bang Onk baru berencana mengajak mereka menjamah hutan ini.
Makan siang kami pun tertunda, kami disibukkan oleh permintaan teman-teman yang mengabadikan saat-saat mereka di Air Terjun ini. Diawali dengan foto perorangan, dan ditutup dengan foto bersama, ditemani canda tawa khas pecinta tanjakan. Kami sempat lupa akan lapar.
Puas berfoto, kami segera makan siang. Bekal nasi bungkus dan air mineral pun telah berpindah ke dalam saluran pencernaan. Sungguh, inilah tempat makan siang paling mewah yang pernah saya temui.
Makan di dalam gua sembari menikmati pemandangan hutan saja sudah biasa, di sini kita bahkan ditemani gemuruh air terjun yang lenyap seperti ditelan bumi.
Waktu seakan tak berdosa mengalir dengan begitu cepat disini, tak terasa jam tangan telah menunjukkan jam 14.30 WIB, saatnya untuk pulang. Karena kami harus melewati jalan yang sama saat menuju ke sini, dan kami harus bergegas jika tak mau ditelan gelapnya hutan perawan saat malam datang.
Menuju tempat kami meninggalkan motor cukup menguras tenaga, tidak jarang tangan saya berpegangan pada akar dan pohon untuk menahan tubuh yang lelah ini. Kadang keibaan hati tuk meninggalkan air terjun ini semakin melemahkan pijakan saya.
Beberapa saat setelah meninggalkan mulut gua, kami berpapasan jalan dengan serombongan besar pecinta traveling dari Kota Padang. Ada rasa haru yang besar, mengetahui bahwa sepotong surga yang jatuh di bumi luak nan bungsu ini dikenal hingga ke luar kota. Ada keceriaan di wajah mereka saat menikmati keperawanan hutan dan udara segar disini.
Bukan hal yang mudah untuk pulang, karena pendakian yang terjal tadi harus kami bayar dengan penurunan panjang yang sangat curam. Tiga kali kami berhenti karena takut rem motor kepanasan yang dapat membahayakan perjalanan, serta mengabadikan jalur perjalanan yang terlewatkan saat berangkat tadi.
Selama perjalanan pulang, kendali saya serahkan pada Bang Onk karena tak dapat saya pungkiri, tubuh ini amat sangat lelah. 40 Menit perjalanan, dan kami baru saja menuntaskan penurunan terjal terakhir dan mulai memasuki perkampungan.
Dari sini kendali motor saya ambil alih, karna Bang Onk pun sudah pasti sangat lelah menjajal jalur ekstrim tadi. Saatnya melaju dengan nyaman, karna mulai dari sini jalanan yang kami tempuh telah diaspal.
30 Km perjalanan kami isi dengan perencanaan membawa rekan–rekan pecinta traveling ekstrim lainnya ke Air Terjun Lubuak Bulan. Pastinya tidak mudah, jarak yang jauh dari pusat kota dan jalur yang penuh rintangan, akan menjadi bumbu peningkat selera para petualang sejati.
Besar harapan kami membawa kepingan kenangan akan indahnya Lubuak Bulan ke alam luar. Rasa itu sama besarnya dengan takut akan pencemaran lokasi wisata alami di negeri kami.
0 Response to "Air Terjun Lubuak Bulan Sumatera Barat"
Post a Comment